Suku Baduy salah satu suku asli Banten. Jumlahnya pendududuk suku
baduy sekitar 5.000 – 8.000 orang. Lokasi Suku Baduy tepatnya berda di
kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota
Rangkasbitung.
Wilayah suku baduy sendiri terbagi kedalam 2 daerah yaitu suku baduy
dalam dan baduy luar. Suku baduy dalam merupakan suku baduy yang
benar-benar masih menjaga pikukuhnya sedangkan suku baduy luar merupakan
suku baduy yang sudah berbaur dengan masyarakat sekitarnya.
Mengenal Suku Baduy
Tempat Wisata Banten memang yang cukup beragam dan
menarik. wisata pantai Banten , wisata alam Banten, wisata sejarah
banten dan tentu saja wisata budaya Banten sangat menarik untuk di
kunjungi. Wisata budaya yang sangat terkenal di Banten adalah wisata
budaya ke suku baduy.
Ya..termasuk salah satu suku asli Banten. Jumlahnya pendududuk suku
baduy sekitar 5.000 – 8.000 orang. Lokasi Suku Baduy tepatnya berda di
kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota
Rangkasbitung.
Masyarakat Suku baduy di Banten termasuk salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar itulah salah satu keunikan Suku Baduy. Sehingga wajar mereka sangat menjaga betul ‘pikukuh’ atau ajaran mereka, entah berupa kepercayaan dan kebudayaan.
Masyarakat suku baduy benar-benar menjaga adat Istiadatnya dan sangat
menjaga alam sekitar. Mereka sadar bahwa mereka hidup dari alam dan
berdampingan dengan alam, sehingga mereka harus memiliki kearifannya
terhadap alam. Banyak ajaran Suku Baduy berupa larangan atau anjuran
yang sebenarnya di khususkan untuk menjaga agar alam.
Wilayah suku baduy sendiri terbagi kedalam 2 daerah yaitu suku baduy
dalam dan baduy luar. Suku baduy dalam merupakan suku baduy yang
benar-benar masih menjaga pikukuhnya sedangkan suku baduy luar merupakan
suku baduy yang sudah berbaur dengan masyarakat sekitarnya.
Suku Baduy Dalam
Terletak di kaki pegunungan kendeng desa
Kanekes, kecamatan Leuwi Damar, Kabupaten Lebak- Rangkasbitung Banten. Desa ini
merupakan jalur terakhir transportasi umum. Setelah tiba di Baduy luar, pertama
kali kita wajib lapor ke pimpinan setempat yang di panggil Jaro Pulung, beliau
bertugas sebagai penghubung antara suku baduy dengan budaya luar. Dari sini
kita masih harus melanjutkan perjalanan agar tiba di suku baduy dalam yaitu antara 3-4 jam.
Wilayah Baduy terbagi ke dalam tiga
yaitu : Cikeusik, Cibeo, Cikertawana. Menurut beberapa sumber, nama Baduy
berasal dari nama sungai yaitu Cibaduy. Dalam versi yang berbeda, nama Baduy
adalah panggilan para peneliti belanda yang mengidentikan mereka dengan Baduy
Arab, dimana kehidupannya suka berpindah-pindah. Orang baduy sebetulnya lebih
nyaman di panggil urang kanekes (orang kanekes).
Populasi
masyarakat baduy sampai hari ini di perkirakan berjumlah 5.000 – 8.000 orang. Berbeda
dengan baduy dalam, suku baduy luar atau yang sering di panggil dengan Urang Panamping sudah menerima budaya luar. Suku baduy luar berpakain
serba hitam serta rumah mereka bertumpu pada batu.
Suku baduy dalam belum mengenal budaya luar dan terletak di
hutan pedalaman. Karena belum mengenal kebudayaan luar, suku baduy dalam masih memiliki budaya yang sangat asli. Suku baduy dalam tidak mengizinkan orang
luar tinggal bersama mereka. Bahkan mereka menolak Warga Negara Asing (WNA)
untuk masuk. Jadi kalau sobat-sobat punya teman bule, jangan di ajak ke baduy,
kasihan mereka nanti harus nunggu di luar. Kemudian suku baduy dalam juga
tidak mengizinkan penggunaan kamera.
Suku baduy dalam di kenal sangat taat mempertahankan adat
istiadat dan warisan nenek moyangnya. Mereka
memakai pakaian yang berwarna putih dengan ikat kepala putih serta membawa
golok. Pakaian suku baduy dalam pun
tidak berkancing atau kerah. Uniknya, semua yang di pakai suku baduy dalam adalah hasil produksi mereka sendiri. Biasanya
para perempuan yang bertugas membuatnya. Suku baduy dalam di larang memakai
pakaian modern. Selain itu, setiap kali bepergian, mereka tidak memakai
kendaraan bahkan tidak pakai alas kaki dan terdiri dari kelompok kecil
berjumlah 3-5 orang. Mereka dilarang menggunakan perangkat tekhnologi, seperti
Hp da TV.
Suku baduy dalam memiliki kepercayaan yang di kenal Sunda
Wiwitan (sunda: berasal dari suku sunda, Wiwitan : Asli). Kepercayaan ini
memuja arwah nenek moyang (animisme) yang pada selanjutnya kepercayaan mereka
mendapat pengaruh dari Budha dan Hindu. Dan kalau melihat sejarah, kepercayaan
suku baduy dalam saat ini adalah refleksi kepercayaan masyarakat sunda sebelum
masuk agama islam.
Sampai saat ini, suku baduy dalam tidak mengenal budaya baca tulis. Yang mereka
tahu, ialah aksara hanacaraka (aksara
sunda). Anak-anak suku baduy dalam
pun tidak bersekolah, kegiatannya hanya sekitar sawah dan kebun. Menurut meraka
inilah cara mereka melestarikan adat leluhurnya. Meskipun sejak pemerintahan
Soeharto sampai sekarang sudah di adakan upaya untuk membujuk mereka agar
mengizinkan pembangunan sekolah, namun mereka selalu menolak. Sehingga banyak
cerita atau sejarah mereka hanya ada di ingatan atau cerita lisan saja.
Selain itu,suku baduy dalam juga tidak mengenal perkakas seperti yang kita
tahu misal gergaji, palu, paku. Jadi untuk membuat rumah, dibuat dengan
menggunakan bahan dan alat-alat tradisional. Di ambil dari hutan dan di
kerjakan secara gotong royong. Seperti jembatan yang di buat dengan bahan bambu,
di ikat dengan tali dan memakain pondasi dari pohon sekitar. Terlebih lagi untuk barang-barang elektronik :
Hp, Tv, Laptop atau Komputer.
Suku baduy menerima dua kepemimpinan,
pertama dari pemerintah, biasanya di pimpin oleh Jaro Pamarentah. Dan
pemimpin dari lingkungan mereka sendiri yang di panggil Pu’un. Pu’un adalah pemimpin adat tertinggi di baduy
dan terbagi di tiga kampung suku baduy
dalam. Jabatan pu’un lebih bersifat turun temurun namun kerabat atau
anggota keluarga lainpun bisa menjadi Pu’un. Serta tidak di berikan jangka
waktu pasti, tergantung kemampuan Pu’un tersebut memangku jabatan.
Sungai menjadi sumber dan urat nadi
kehidupan sehari-hari mereka. Dari mulai mandi, mencuci, MCK semuanya di
lakukan di sungai. Teman-teman yang berniat berkunjung ke suku baduy dalam, persiapkan makanan seperti beras, mie instant,
sarden dan lain-lain. Nanti para ibu suku baduy yang akan membantu memasaknya. Salah
satu kebiasaan yang harus di patuhi masyarakat suku baduy dalam ialah jam tidur maksimal jam 21:00.
Biasanya kalau sesuatu terlampau
berbeda maka akan menarik perhatian banyak orang. Karena menjadi hal yang unik.
Dan di sanalah titik menariknya, terbukti ratusan orang berkunjung dalam satu
rombongan ke suku baduy dalam.
Suku Baduy Luar
Baduy luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Baduy Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkanya warga Baduy Dalam
ke Baduy Luar. Pada dasarnya, peraturan yang ada di baduy luar dan
baduy dalam itu hampir sama, tetapi baduy luar lebih mengenal teknologi
dibanding baduy dalam.
Ciri-ciri khas masyarakat:
- Mereka
telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun
penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga Baduy,
termasuk warga Baduy Luar.
- Proses
Pembangunan Rumah penduduk Baduy Luar telah menggunakan alat-alat
bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang
oleh adat Baduy Dalam. (BL)
- Menggunakan
pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki),
yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian
modern seperti kaos oblong dan celana jeans. (BL)
- Kelompok masyarakat panamping (Baduy Luar),
tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi (di luar)
wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh,
Cisagu, dan lain sebagainya. (BL)
· Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh
atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari
orang Kanekes. Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes
tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan
sesedikit mungkin:
· Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.
Masyarakat
Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan
merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang
terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten
yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya
pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan
kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten
(Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus
dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi,
palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur
Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak.
Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan
masyarakat luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.