Menyambut tahun ajaran baru 2013/2014 sekolah perlu mempersiapkan
beberapa hal dalam hal administrasi sekolah, salah satu kegiatan dalam
menyambut tahun ajaran baru adalah penerimaan Tahun Baru. Berbeda dari
tahun sebelumnya, tahun ajaran baru 2013/2014, saat ini dinas pendidikan
telah mendistribusikan aplikasi pendataan ke pada sekolah dasar dan
sekolah menengah pertama.
Sebagai pelengkap Aplikasi pendataan baru tahun ajaran 2013/2014
dalam penerimaan siswa baru, kali ini akan saya share Formulir
Pandaftaran Siswa Baru Aplikasi Pendataan. Formulir ini sudah sesuai
dengan penginputan yang terdapat di aplikasi pendataan.
Beberapa komponen yang di data dalam pendaftaran siswa baru adalah
seperti Nama Lengkap, Nama Panggilan, Jenis kelamin, NIK, Tempat,
Tanggal Lahir, Usia, Agama, Anak ke, Jumlah Saudara, Tinggi Badan,
Bahasa sehari-hari, Penyakit yang pernah diderita, Alergi
Obat/Makanan/Lainnya, Golongan Darah, Riwayat Pendidikan, Masuk sekolah
ini sebagai, Tahun Pelajaran, Asal Sekolah, Alamat Sekolah Asal, No.
Telepon/HP, Email (bila ada), Rombel, Riwayat Beasiswa, Catan Prestasi,
Nama Ayah, Pekerjaan, Nama Kantor/Instansi, Alamat Kantor/Instansi ,
Telepon/HP, Email, Pendidikan, Penghasilan bulanan, Nama Ibu, Pekerjaan,
Nama Kantor/Instansi dan lain sebagainya.
Formulir Pandaftaran Siswa Baru Aplikasi Pendataan :
Sabtu, 06 Desember 2014
MENGENAL SUKU BADUY/KANEKES BANTEN
MENGENAL SUKU BADUY
Disusun Oleh: Nurholis Seha
E-mail: seha.noor22@gmail.com
ABSTRAK
Indonesia
merupakan salah sahatu Negara yang kaya akan keaneka ragaman budayanya yang
tersebar mulai dari Sabang sampai ke Merauke. Adanya keaneka ragaman budaya di
Indonesia tidak terlepas dari banyaknya suku-suku yang menempati tanah
nusantara ini, keberadaannya tidak bisa dihitung dengan jari bisa ratusan
bahkan ribuan, dan salah satunya adalah suku Baduy.
Suku
Baduy atau Orang Kanekes adalah suku asli masyarakat Banten. Komunitas suku ini
tinggal di Desa Kanekes. Mereka
berada di wilayah Kecamatan Leuwidamar. Perkampungan mereka berada di sekitar
aliran sungai Ciujung dan Cikanekes di Pegunungan Keundeng. Atau sekitar 172 km
sebelah barat Ibukota Jakarta dan 65 km sebelah selatan ibu kota Serang.
Keberadaan mereka bisa dikatakan masih
terisolasi dari masyarakat modern, tapi meskipun demikian mereka tidak menutup
ruang untuk dapat dikunjungi oleh masyarakat moderen, sehingga berkunjung ke
komunitas suku baduy pedalaman dijadikan salah satu objek wisata sekaligus
penelitian sejarawan di daerah provinsi Banten.
PENDAHULUAN
ETIMOLOGI
Sebutan
"Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada
kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti yang agaknya mempersamakan mereka dengan
kelompok yang merupakan masyarakat yang
berpindah-pindah (nomaden) seperti halnya suku bangsa Arab yang memiliki nama
hampir sama juga, yaitu suku Badui. Konon katanya, sebutan “baduy” diberikan
oleh pemerintahan kesultanan Banten ketika itu terhadap masyarakat asli banten
yang enggan untuk menerima ajaran islam seperti halnya suku badui di masa nabi
Muhammad Saw. Dan atas sikap penolakan mereka terhadap islam, sehingga mereka
diasingkan ke daerah pedalaman.
Kemungkinan
lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian
utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang
Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka,
atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo
(Garna, 1993).
WILAYAH
Banten
merupakan sebuah provinsi di sebelah barat Pulau Jawa memiliki moto “Iman
Taqwa”. Moto ini mengartikan bahwa seluruh masyarakat Banten adalah orang-orang
yang memiliki agama atau kepercayaan yang kuat dan mendominasi hampir seluruh
kehidupan mereka. Ibu kota Banten adalah Serang. Hari jadi provinsi Banten
adalah 4 Oktober 2000. Titik koordinat wilayah Banten adalah 5° 7'
50" - 7° 1' 11" LS dan 105° 1' 11" - 106° '12" BT.
Untuk
saat ini pemerintahan Provinsi banten dipimpin oleh Gubernur Hj. Ratu Atut
Chosiyah. Luas wilayah Banten sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 tahun 2000 adalah 9.160,70 km2, dengan Populasi 10.644.030 jiwa,
dan kepadatan 1.161,9/km².
Demografi
Banten sendiri terdiri dari Suku bangsa Banten dengan presentase
sebesar 47% dari jumlah penduduk, Sunda dengan presentase sebesar 23%
dari jumlah penduduk, dengan presentase sebesar Jawa 12% dari jumlah penduduk,
dengan presentase sebesar Betawi 9,62% dari jumlah penduduk, Tionghoa
dengan presentase sebesar 1,1% dari jumlah penduduk, Batak dengan
presentase sebesar 0,93% dari jumlah penduduk, Minangkabau dengan
presentase sebesar 0,81%, dari jumlah penduduk Lain-lain dengan
presentase sebesar 54% dari jumlah penduduk. Mereka berbahasa Sunda, Jawa
Banten, Indonesia, dan Betawi. Dan kebanyakan mereka memeluk agama Islam,
karena hampir 96,6% jumlah presentase pemeluk agama islam. Sedangkan yang
beragama Kristen 1,2%, Katolik 1%, Buddha 0,7%, dan Hindu 0,4%.
Wilayah
laut Banten merupakan salah satu jalur laut potensial selain karena batas
daerahnya. Batas daerah Banten sebelah utara adalah Laut Jawa, yang dikenal
dengan potensi perikanan yang cukup bagus bagi Jawa. Kemudian sebelah Barat
berbatasan dengan Selat Sunda, yang merupakan merupakan salah satu jalur lalu
lintas laut yang strategis karena dapat dilalui kapal besar yang menghubungkan
Australia dan Selandia Baru dengan kawasan Asia Tenggara misalnya Thailand,
Malaysia, dan Singapura. Disebelah selatan berbatasan dengan Samudera
Indonesia, yang berpotensi untuk memperkaya mata pencarian penduduknya, dengan
berlayar mencari ikan besar. Dan yang terakhir di sebelah timur, yang
berbatasan dengan DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Di
samping itu Banten merupakan jalur penghubung antara Jawa dan Sumatera. Bila dikaitkan
posisi geografis dan pemerintahan maka wilayah Banten terutama daerah Tangerang
raya (Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang selatan)
merupakan wilayah penyangga bagi Jakarta. Secara ekonomi wilayah Banten
memiliki banyak industri. Wilayah Provinsi Banten juga memiliki beberapa
pelabuhan laut yang dikembangkan sebagai antisipasi untuk menampung kelebihan
kapasitas dari pelabuhan laut di Jakarta dan ditujukan untuk menjadi pelabuhan
alternatif selain Singapura.
Iklim
Banten sendiri adalah Iklim Tropis. Daerah Banten terbagi menjadi 8
daerah kabupaten/kota. Diantaranya adalah Kota Tangerang Selatan, Ciputat, Kota
Cilegon, Kota Serang, Kota Tangerang, Kabupaten
Pandeglang
Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Serang, dan Kabupaten Tangerang.
Di
Provinsi Banten terdapat suku asli, yaitu Suku Baduy. Suku Baduy Dalam
merupakan suku asli Sunda Banten yang masih menjaga tradisi anti modernisasi,
baik cara berpakaian maupun pola hidup lainnya. Perkampungan masyarakat Baduy umumnya
terletak di daerah aliran Sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng. Daerah ini
dikenal sebagai wilayah tanah titipan dari nenek moyang, yang harus
dipelihara dan dijaga baik-baik, tidak boleh dirusak. Masyarakat Baduy memiliki
tanah adat kurang lebih sekitar 5.108 hektar yang terletak di Pegunungan
Keundeng. Mereka memiliki prinsip hidup cinta damai, tidak mau berkonflik dan
taat pada tradisi lama serta hukum adat.
Kadang
kala suku Baduy juga menyebut dirinya sebagai orang Kanekes, karena berada di
Desa Kanekes. Mereka berada di wilayah Kecamatan Leuwidamar. Perkampungan
mereka berada di sekitar aliran sungai Ciujung dan Cikanekes di Pegunungan
Keundeng. Atau sekitar 172 km sebelah barat ibukota Jakarta dan 65 km sebelah
selatan ibu kota Serang.
PEMBAHASAN
SEJARAH SUKU
BADUY
Menurut kepercayaan warga
sejarah suku baduy dalam berasal dari Batara Cikal, yaitu salah satu dari tujuh
dewa yang di turunkan ke bumi. Batara cikal memiliki peran untuk mengatur
keseimbangan di bumi. Versi ini hampir sama persis dengan cerita di turunkannya
nabi Adam, sebagai makhluk pertama dan memiliki tugas untuk mengelola bumi.
Suku baduy pun percaya bahwa mereka adalah keturunan nabi Adam.
a. Sejarah Suku Baduy Dalam Menurut Ahli Sejarah
Sedangkan pada versi yang lain, para ahli sejarah
memiliki pendapat sendiri terkait sejarah suku baduy. Pendapat mereka berdasar
pada temuan prasasti sejarah, kemudian di telusuri pula melalui catatan para
pelaut dari Portugis dan Tiongkok serta di hubungkan dengan cerita rakyat
tentang Tatar Sunda. Meskipun pada kenytaannya, cerita mengenai Tatar Sunda ini
sangan sedikit sekali referensinya.
Menurut ahli sejarah, masyarakat baduy (kanekes)
memiliki kaitan dengan kerajaan Pajajaran (saat ini wilayah Bogor). Yang di
ketahui, Pajajaran ada sekitar di abad ke-16. Pada saat dimana kerajaan atau
kesultanan Banten belum berdiri, wilayah yang kemudian menjadi kesultanan
Banten, ialah daerah yang sangat penting dan memiliki peranan yang signifikan.
Saat itu, Banten masih menjadi bagian dari wilayah kerajaan Sunda. Banten
berfungsi sebagai pelabuhan yang memang terkenal besar.
Di banten terdapat sungat Ciujung yang berfungsi sebagai
pelabuhan dan bisa di lewati beragam jenis perahu. Sungai ini menjadi lalu
lintas angkutan barang-barang hasil pertanian dari wilayah pedalaman. Pangeran
Pucuk, penguasa saat itu merasa perlu untuk melestarikan dan menjaga wilayah
tersebut, terutama terkait kelestarian sungainya. Wilayah itu di kenal dengan
nama Gunung Kendeng.
Karena alasan itu, pangeran pucuk memerintahkan pasukan
prajurit pilihan untuk menjaga kelestarian Gunung Kendeng-Sungai Ciujung.
Mereka tinggal dan bertugas sebagai penjaga wilayah tersebut. Maka, dengan
adanya pasukan kerajaan tersebut, lambat laun kehidupan mulai berjalan normal.
Jadi bisa di simpulkan bahwa sejarah suku Baduy dalam dan yang hari ini kita
kenal adalah berasal dari pasukan yang di utus oleh Pangeran Pucuk yang
bertugas melestarikan sungai Ciujung – gunung Kendeng. Pada masanya, suku baduy
menutup identitas mereka terhadap orang luar. Karena di khawatirkan akan di
ketahui oleh musuh-musuh kerajaan Pajajaran.
b.
Sejarah Suku Baduy Dalam Versi Van Tricht
Versi ketiga tekait sejarah suku baduy dalam ialah dari
dokter Van Tricht yang berkunjung ke Baduy di tahun 1982 kemudian mengadakan penelitian
terkait kesehatan masyarakat disana. Van Tricht tidak mengakui kedua pendapat
diatas, ia memiliki pendapat sendiri mengenai sejarah suku baduy dalam dan ia
mengatakan bahwa masyarakata Baduy sudah ada sejak lama disana dan merupakan
masyarakat asli sana. Menurut Van Tricht masyarkat baduy terutama warga
masyarakat suku baduy dalam memiliki sifat yang menolak keras dan tidak bisa
mengadopsi kebudayaan luar. Selain itu, menurutnya masyarakat baduy dalam
sangat mempertahankan kebudayaannya. Itu terbukti suku baduy dalam masih sangat
ketat untuk mempertahankan kebudayaan nenek moyang mereka.
Pendapat Van tricht terkait sejarah suku baduy dalam ini
sejalan dengan pendapat Danasasmita dan Djatisunda (1986:4-5). Menurut dua ahli
ini saat itu raja yang berkuasa di wilayah sekitar Baduy adalah Rakeyan
Darmasiska, raja ini memerintahkan masyarakat Baduy yang memang sudah tinggal
disana dari dahulu untuk memelihara Kabuyutan (tempat pemujaan nenek moyang).
Menjadikan kawasan tersebut sebagai “Mandala” atau kawaan suci. Masyarakatnya
sendiri di kenal memiliki kepercayaan Sunda Wiwitan (wiwitan:asli,pokok).
Sampai sekarang pun masyarakat baduy masih memegang teguh kepercayaan tersebut.
BAHASA DAN KEPERCAYAAN
a) Bahasa
Bahasa
yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk
berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia,
walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang
Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama,
dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Orang
Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan
adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun
fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak
era Suharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup
mereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes
masih menolak usaha pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes
tidak dapat membaca atau menulis.
b) Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada
arwah nenek moyang (Animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga
dipengaruhi oleh Agama Buddha, Hindu, . Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan
dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan
sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh'
(kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun",
atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk
heunteu beunang disambung.
(Panjang
tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan
secara harafiah. Di bidang, Pertanian bentuk pikukuh tersebut adalah dengan
tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat
sederhana, tidak mengolah lahan dengan Bajak, tidak membuat Terasering (halaman belum
tersedia), hanya menanam dengan Tugal
(halaman belum tersedia), yaitu sepotong Bambu yang diruncingkan. Pada
pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga
tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan
tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang
mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan
dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk
melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003
bertepatan dengan bulan Juli. Hanya Pu'un atau ketua adat tertinggi
dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan
tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan
air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam
keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan
pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan
berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka
merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan
masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan
kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
PEMBAGIAN MASYARAKAT SUKU BADUY
Masyarakat
suku Baduy sendiri terbagi dalam tiga kelompok. Kelompok terbesar disebut dengan
Baduy Luar atau Urang Panamping yang tinggal disebelah utara Kanekes. Mereka
berjumlah sekitar 7 ribuan yang menempati 28 kampung dan 8 anak kampung. Mereka
tinggal di desa Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, yang
mengelilingi wilayah baduy dalam. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan
pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Suku Baduy Luar biasanya sudah
banyak berbaur dengan masyarakat Sunda lainnya. selain itu mereka juga sudah
mengenal kebudayaan luar, seperti bersekolah.
Sementara
di bagian selatannya dihuni masyarakat Baduy Dalam atau Urang Dangka.
Diperkirakan mereka berjumlah 800an orang yang tersebar di Kampung Cikeusik,
Cibeo dan Cikartawana. Kelompok tangtu (baduy dalam). Suku Baduy Dalam tinggal
di pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar.
Memiliki kepala adat yang membuat peraturan-peraturan yang harus dipatuhi biasa
disebut Pu’un. Orang Baduy dalam tinggal di 3 kampung,yaitu Cibeo, Cikartawana,
dan Cikeusik.
Kelompok
Baduy Dangka, mereka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal
2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh
(Cihandam). Kedua kelompok ini memang memiliki ciri yang beda. Bila Baduy Dalam
menyebut Baduy Luar dengan sebutan Urang Kaluaran, sebaliknya Badui Luar
menyebut Badui Dalam dengan panggilan Urang Girang atau Urang Kejeroan. Ciri
lainnya, pakaian yang biasa dikenakan Baduy Dalam lebih didominasi berwarna
putih-putih. Sedangkan, Baduy Luar lebih banyak mengenakan pakaian hitam dengan
ikat kepala bercorak batik warna biru.
Masyarakat
Baduy sangat taat pada pimpinan yang tertinggi yang disebut Puun. Puun ini
bertugas sebagai pengendali hukum adat dan tatanan kehidupan masyarakat yang
menganut ajaran Sunda Wiwitan peninggalan nenek moyangnya. Setiap kampung di
Baduy Dalam dipimpin oleh seorang Puun, yang tidak boleh meninggalkan
kampungnya. Pucuk pimpinan adat dipimpin oleh Puun Tri Tunggal, yaitu Puun Sadi
di Kampung Cikeusik, Puun Janteu di Kampung Cibeo dan Puun Kiteu di Cikartawana.
Sedangkan wakilnya pimpinan adat ini disebut Jaro Tangtu yang berfungsi sebagai
juru bicara dengan pemerintahan desa, pemerintah daerah atau pemerintah pusat.
Di Baduy Luar sendiri mengenal sistem pemerintahan kepala desa yang disebut
Jaro Pamerentah yang dibantu Jaro Tanggungan, Tanggungan dan Baris Kokolot.
MATA PENCAHARIAN
Mata
pencarian masyarakat Baduy yang paling utama adalah bercocok tanam padi huma
dan berkebun serta membuat kerajinan koja atau tas dari kulit kayu, mengolah
gula aren, tenun dan sebagian kecil telah mengenal berdagang. Kepercayaan yang
dianut masyarakat Kanekes adalah Sunda Wiwitan.didalam baduy dalam, Ada semacam
ketentuan tidak tertulis bahwa ras keturunan Mongoloid, Negroid dan Kaukasoid
tidak boleh masuk ke wilayah Baduy Dalam. Jika semua ketentuan adat ini di
langgar maka akan kena getahnya yang disebut kuwalat atau pamali adalah suku
Baduy sendiri.
Adapun
sebutan siku Baduy menurut cerita adalah asalnya dari kata Badui, yakni sebutan
dari golongan/ kaum Islam yang maksudnya karena suku itu tidak mau mengikuti
dan taat kepada ajaran agama Islam, sedangkan disaudi Arabia golongan yang
seperti itu disebut Badui maksudnya golongan yang membangkang tidak mau tunduk
dan sulit di atur sehingga dari sebutan Badui inilah menjadi sebutan Suku
Baduy.
Konon
pada sekitar abad ke XI dan XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah
Pasundan yakni dari Banten, Bogor, priangan samapai ke wilayah Cirebon, pada
waktu itu yang menjadi Rajanya adalah PRABU BRAMAIYA MAISATANDRAMAN dengan
gelar PRABU SILIWANGI.
Kemudian
pada sekitar abad ke XV dengan masuknya ajaran Agama Islam yang dikembangkan
oleh saudagar-saudagar Gujarat dari Saudi Arabia dan Wali Songo dalam hal ini
adalah SUNAN GUNUNG JATI dari Cirebon, dari mulai Pantai Utara sampai ke
selatan daerah Banten, sehingga kekuasaan Raja semakin terjepit dan rapuh
dikarenakan rakyatnya banyak yang memasuki agama Islam. Akhirnya raja beserta
senopati dan para ponggawa yang masih setia meninggalkan keraan masuk hutan
belantara kearah selatan dan mengikuti Hulu sungai, mereka meninggalkan tempat
asalnya dengan tekad seperti yang diucapkan pada pantun upacara Suku Baduy “
Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang , malipir dina gawir,
nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan
perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sa
wangatua”
Artinya
: jauh tidak menentu yang tuju ( Jugjug ),berjalan tanpa ada tujuan, berjalan
ditepi tebing, berlindung dibalik gunung, lebih baik malu dan hina dari pada
harus berperang dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan “
Suku baduy masih setia dengan adat istiadatnya yang menjalani kehidupan seperti
leluhurnya. Tak heran, jika orang Baduy Dalam hingga kini tetap pantang
menggunakan sabun, menumpang mobil atau mengendarai sepeda motor. Bahkan tak
pernah bersepatu. Jika bepergian ke Jakarta misalnya, mereka tempuh dengan
berjalan kaki selama tiga hari tiga malam. Daftar pantangan tabu bagi mereka
masih berderet: Tak bersekolah, menggunakan kaca, menggunakan paku besi,
pantang mengkonsumsi alkohol dan berternak binatang yberkaki empat, dan masih
banyak lagi.
Prinsip
kearifan yang dipatuhi secara turun temurun oleh masyarakat Baduy ini membuat
mereka tampil sebagai sebuah masyarakat yang mandiri, baik secara sosial maupun
secara ekonomi. Karena itu, ketika badai krisis keuangan global melanda dunia,
dan merontokkan pertahanan ekonomi kita di awal tahun milennium ini, suku Baduy
terbebas dari kesulitan itu. Hal itu berkat kemandirian mereka yang diterapkan
dalam prinsip hidup sehari-hari.
Orang
Baduy tak saja mandiri dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Mereka tak membeli beras, tapi menanam sendiri. Mereka tak membeli baju, tapi
menenun kain sendiri.. Kayu sebagai bahan pembuat rumah pun mereka tebang di
hutan mereka, yang keutuhan dan kelestariannya tetap terjaga. “Dari 5.136,8
hektar kawasan hutan di Baduy, sekitar 3.000 hektar hutan dipertahankan untuk
menjaga 120 titik mata air”, kata Jaro Dainah, kepala pemerintahan (jaro
pamarentah) suku Baduy.
Kemandirian
mereka dari hasrat mengonsumsi sebagaimana layaknya orang kota, antara lain
tampak pada beberapa hal lainnya. Untuk penerangan, mereka tak menggunakan
listrik. Dalam bercocok tanam, mereka tak menggunakan pupuk buatan pabrik.
Mereka juga membangun dan memenuhi sendiri kebutuhan untuk pembangunan
insfrasuktur seperti jalan desa, lumbung padi, dan sebagainya.
Orang
tak bisa menuding begitu saja, bahwa suku Baduy Dalam terbelakang. Ternyata,
mereka menguasai teknik pertanian dan bercocok tanam dengan baik, sembari tetap
menjaga kelestarian lingkungan. “Mereka memang tak bersekolah. Belajar di
ladang dan menimba kearifan hidup di alam terbuka adalah sekolah mereka”, tutur
Boedihartono, antropolog dari Universitas Indonesia, yang pernah meneliti suku
Baduy selama beberapa tahun. “Yang amat menggembirakan, tingkah laku yang
meneladani moralitas utama, menjadi acuan utama bagi kepribadian dan perilaku
orang Baduy dalam kehidupan mereka sehari-hari. Perkataan dan tindakan mereka
pun polos, jujur tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan
tawar-menawar. Karena itu, banyak merasa senang jika berurusan dengan orang
Baduy karena mereka pantang merugikan orang lain”, ujarnya lagi.
Untuk
menjaga kemurnian adat dari pencemaran budaya luar yang dibawa para wisatawan
dalam mengunjungi kawasan pemukiman kaum Baduy, sesekali jaro (kepala desa)
Baduy Dalam melakukan sidak ke desa Baduy Luar. Itu untuk meneliti apakah ada
benda-benda yang bisa melunturkan kepercayaan mereka. Mereka kadang menyita
radio yang dianggap melunturkan kepercayaan adat mereka. Selama ini, tanpa
bunyi sepeda motor, radio, televisi dan mesin apa saja apa saja yang
menimbulkan asap dan bunyi-bunyian, maka desa-desa Baduy adalah titik tenang.
Bunyi gemeletak alat penenun menjadi irama lembut yang menemani keheningan alam
di sana.
Akan
tetapi, amatlah sukar menjaga keheningan tetap bertahan dalam dunia modern yang
serba hiruk pikuk ini. Misalnya kini, mulai tampak anak-anak Baduy yang
“meninggalkan” pakaian tradisional mereka, berupa kain tenunan tangan dengan
warna hitam dan putih, dengan memakai kaos ala seragam kesebelasan sepakbola
Italia yang “berteriak” dengan warna-warni meriah. Mereka yang selama ini
menabukan jual beli dan penggunaan uang, dengan menetapkan pola barter,
akhirnya mulai terlibat proses dagang.
PEMERINTAHAN
Masyarakat Kanekes
mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan
negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya
masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa
sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin
oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah
Camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi,
yaitu "Pu'un".
Pemimpin adat tertinggi
dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di tiga kampung tangtu.
Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke
anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Pu'un
tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan
tersebut.
INTERAKSI
DENGAN MASYARAKAT LUAR
Masyarakat Kanekes yang
sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan masyarakat
terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia
luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang
secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak
lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa,
masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan Seba (halaman belum tersedia) ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai
sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa
menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten
(sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk
Kanekes Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam
sewa-menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan yang pada
waktu yang lampau dilakukan secara Barter, sekarang ini telah mempergunakan mata
uang Rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula
kawung/aren melalui para Tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang
tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar
wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar
yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang
per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga
para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut,
bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti
adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak
boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di
sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing
(non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu
ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di
ladang tidak terlalu banyak, orang Kanekes juga senang berkelana ke kota besar
sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka
pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke
rumah kenalan yang pernah datang ke Kanekes sambil menjual madu dan hasil
kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan
uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
PENUTUP
Keberadaan
suku baduy di daerah Rangkas Bitung – Banten bukan lagi hal yang asing bagi
masyarakat indonesia, khususnya bagi masyarakat Banten itu sendiri. Keterbukaan
masyarakt suku baduy terhadap masyarakat luar memudahkan bagi para sejarawan
untuk mengetahui lebih dalam lagi dan melakukan penelitian akan sejarah suku
Baduy alias Orang Kanekes yang lebih terperinci.
Hari
ini masyarakat suku baduy tidak lagi menjadi mayarakat atau kelompok yang suka berpindah-pindah
tempat (nomaden) seperti yang dikatakan para ahli sejara. Pola hidup mereka
berubah menjadi komunitas yang menetap karena mereka telah mampu bercocok tanam
(bertani) yang merupakan mata pencahariannya bahkan telah terbentuk
pemerintahan untuk mengatur masyarakat suku baduy itu sendiri. Bahkan
masyarakat baduy luar sudah mulai bersosialisasi layaknya masyarakat moderen.
Suku
baduy adalah satu dari ratusan bahkan ribuan suku-suku yang menghuni tanah
nusantara ini, dan ini adalah bukti kekayaan akan keanekaragaman budaya Negara
kita Indonesia dan selayaknya kita berbanga dengan ini. Maha suci Allah yang
telah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa sehingga kita bisa
saling kenal satu sama lainnya.
REFERENSI
- Adimihardja, K. (2000). Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia air pemelihara sungai, Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXIV, No. 61, Jan-Apr 2000, hal 47 – 59.
- Garna, Y. (1993). Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia, Editor: Koentjaraningrat & Simorangkir, Seri Etnografi Indonesia No.4. Jakarta: Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial dengan Gramedia Pustaka Utama.
- Permana, C.E. (2003). Arca Domas Baduy: Sebuah referensi arkeologi dalam penafsiran ruang masyarakat megalitik, Indonesian Arheology on the Net,
- Permana, C.E. (2003). Religi dalam tradisi bercocok tanam sederhana, Indonesian Arheology on the Net.
Jumat, 05 Desember 2014
cara uninstal aplikasi yang tidak bisa dihapus dari control panel
Cara Uninstal Aplikasi Yang Tidak Bisa DiHapus di Control Panel atau Cara Menghapus Aplikasi Yang Tidak Bisa DiHapus di Control Panel disebabkan
kegagalan windows dalam menyelesaikan proses uninstall secara penuh
atau juga bisa disebabkan oleh uninstall dari program tersebut kurang
beres dalam melakukan proses uninstall. Biasanya anda masuk di Start - Control Panel - Add or Remove Program tetatpi tidak berhasil.
Untuk mengatasi hal tersebut kita harus meng-uninstall secara manual, Berikut Cara Menghapus Program/File Yang Tidak Bisa Dihapus:
- Start pada windows anda.
- Masuk ke Run ketik regedit lalu Ok
- Masuk ke menu HKEY_LOCAL_MACHINE/SOFTWARE/Microsoft/Windows/currentVersion/Uninstall. Lalu cari nama program yang akan anda uninstall, jika sudah klik nama program tersebut lalu tekan tombol delete.
- Setelah itu akan muncul jendela confirm key delete lalu klik Yes.
- Restart komputer anda dan coba cek apakah Program yang anda uninstall Sudah Terhapus ???
Rabu, 19 November 2014
Baduy
Untuk
benar-benar menjaga ada istiadatnya, suku baduy terbagi kedalam 3
kawasan yaitu. Kawasan Suku Baduy dalam, suku baduy luar dan suku baduy
dangka ( suku baduy paling luar yg berdampingan dengan masyarakat).
Suku baduy dalam memiliki ciri khas selalu menggunakan pakaian yang berwarna berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing.
Beberapa peraturan diataranya yang masih sangat dipegang teguh oleh suku baduy dalam adalah Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi, Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki, Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu’un atau ketua adat),Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi), Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
Suku baduy luar tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Ciri khas orang baduy luar adalah merkea menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki) dan ikat kepala berwarna hitam.
Ciri-ciri mSuku baduy luar lainnya yaitu telah mengenal teknologi, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga suku baduy. Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
Suku Baduy Dalam
Suku baduy dalam merupakan suku yang masih sangat memegang uat adat dan pikukuh yang dipegang secara turun temurun. Suku baduy dalam berada di 3 desa yaitu desa Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. CiriSuku baduy dalam memiliki ciri khas selalu menggunakan pakaian yang berwarna berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing.
Beberapa peraturan diataranya yang masih sangat dipegang teguh oleh suku baduy dalam adalah Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi, Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki, Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu’un atau ketua adat),Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi), Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
Suku Baduy Luar
Selanjutnya adalah suku baduy luar. Suku Baduy luar adalah orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Alasan keluar dari wilayah baduy dalam karena Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam, Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam dan atau Menikah dengan anggota Kanekes Luar.Suku baduy luar tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Ciri khas orang baduy luar adalah merkea menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki) dan ikat kepala berwarna hitam.
Ciri-ciri mSuku baduy luar lainnya yaitu telah mengenal teknologi, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga suku baduy. Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
Suku Baduy Dangka
Suku Baduy Dangka merupakan suku baduy yang tinggal di wilayah terluar. Suku baduy dangka ini berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar Saat ini suku baduy dangka tinggal di 2 kampung yang tersisa yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).Wisata ke Suku Baduy, Banten
Travelers mau mendapatkan pengalaman unik dan berbeda di liburan akhir pekan kalian? Coba aja wisata budaya seru banget ke Banten. Tepatnya ke perkampungan Suku Baduy!
Banten, selain terkenal akan wisata alam dan pantainya, juga populer dengan wisata budaya ke suku Baduy. Mau mengenal lebih dalam mengenai keunikan adat istiadat suku ini? Yuk, kita simak bersama kebiasaan unik mereka!
Asal-usul kata suku ini, yaitu Baduy, sebenarnya berasal dari kata Badawi atau Bedoin yang diberikan oleh seorang peneliti Belanda. Namun, karena aksen warga setempat, kata tersebut pada akhirnya bergeser menjadi kata Baduy. Untuk mencapai ke kampung Baduy yang terletak sekitar 40 km dari Rangkas Bitung, Banten, kalian dianjurkan untuk menaiki bus atau kereta api saja dan berhenti di kabupaten Rangkas Bitung. Dari sana, kalian bisa melanjutkan perjalanan menuju Ciboleger, yang merupakan pintu masuk untuk menuju kampung Baduy.
Nah, sekarang saatnya kita berkenalan lebih dalam dengan Suku Baduy ini ya travelers. Ketika kalian sampai di terminal Ciboleger, kalian sudah akan disambut dengan beberapa anak dari suku Baduy yang banyak berdiri di depan toko dan menjual souvenir. Kalian juga dapat meminta salah satu anak untuk menjadi pemandu wisata kalian. Tenang saja karena mereka sudah lancar berbahasa Indonesia dan dapat sedikit mengerti akan kata sederhana dari Bahasa Inggris.
Dengan total penduduk 5000-8000 orang, suku Baduy ini masih terisolasi dari dunia luar. Mereka masih memegang teguh adat istiadat dan aturan dari nenek moyang, contoh yang sangat jelas adalah dari pakaian yang mereka kenakan yaitu dengan pakaian khas berwarna hitam dan putih, ikat kepala dan masih tanpa alas kaki. Ketika memasuki kampung Baduy, dijamin kalian akan merasakan hal yang sangat berbeda.
Luas yang mencapai kurang lebih 5000 hektar, wilayah suku baduy ini memiilki 56 kampung dan terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu Baduy dalam yang terdiri dari 3 kampung dan Baduy luar yang terdiri dari 53 kampung. Pada wilayah Baduy dalam, kalian sudah tidak lagi diperbolehkan untuk mengambil foto. Perbedaan dari suku Baduy luar dan dalam ini terletak pada adat istiadat dan budaya yang mereka pegang, dimana masyarakat Baduy luar sudah sedikit teralkulturasi dengan budaya di luar suku Baduy.
Perjalanan akan dimulai dengan melihat rumah-rumah dari suku Baduy bagian luar yang masih terbuat dari jerami. Di sini kalian bisa mengambil foto di depan rumah mereka dan apabila beruntung kalian juga dapat berfoto dengan pemilik rumahnya. Lanjut lagi dengan melewati jalan yang sedikit berbatu dan naik turun, kalian akan melewati banyak sungai kecil dan menemukan lumbung-lumbung padi suku Baduy yang biasanya terletak di depan rumah. Sebelum memasuki kampung Baduy dalam, kalian harus melewati jembatan bambu terlebih dahulu. Jembatan bambu inilah yang memisahkan antara baduy luar dan baduy dalam. Kalian juga harus berhati-hati ya karena jembatan ini tidak terlalu lebar.
Wilayah kampung Baduy dalam terasa lebih sepi dan banyak jalan setapak yang naik turun. Di wilayah ini kalian akan disuguhkan pemandangan indah dari perbukitan yang masih hijau terjaga. Suku Baduy memang terkenal sangat dekat dengan alam, mereka selalu menjaga alam yang mereka tempati. Tak heran kampung yang ada di sini masih terawat dan bersih.
Pada akhir perjalanan, kalian dapat menginap di salah satu rumah suku Baduy ini. Di sinilah saat yang biasanya paling ditunggu-tunggu. Tanpa listrik, tanpa gadget, dan tanpa kamar mandi tentunya menjadi tantangan seru bagi setiap wisatawan. Kalian harus menuju ke sungai terlebih dahulu untuk mandi atau buang air. Kalian juga tidak diijinkan untuk mengunakan sabun, shampo dan bahan kimia lainnya yang dapat mencemari lingkungan. Salut kan travelers pada suku baduy ini, mereka sangat menjaga alam yang mereka tempati dan memperlakukan lingkungan dengan baik.
Sekilas Suku Baduy
Suku Baduy salah satu suku asli Banten. Jumlahnya pendududuk suku
baduy sekitar 5.000 – 8.000 orang. Lokasi Suku Baduy tepatnya berda di
kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota
Rangkasbitung.
Wilayah suku baduy sendiri terbagi kedalam 2 daerah yaitu suku baduy
dalam dan baduy luar. Suku baduy dalam merupakan suku baduy yang
benar-benar masih menjaga pikukuhnya sedangkan suku baduy luar merupakan
suku baduy yang sudah berbaur dengan masyarakat sekitarnya.
Mengenal Suku Baduy
Tempat Wisata Banten memang yang cukup beragam dan
menarik. wisata pantai Banten , wisata alam Banten, wisata sejarah
banten dan tentu saja wisata budaya Banten sangat menarik untuk di
kunjungi. Wisata budaya yang sangat terkenal di Banten adalah wisata
budaya ke suku baduy.Ya..termasuk salah satu suku asli Banten. Jumlahnya pendududuk suku baduy sekitar 5.000 – 8.000 orang. Lokasi Suku Baduy tepatnya berda di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung.
Masyarakat Suku baduy di Banten termasuk salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar itulah salah satu keunikan Suku Baduy. Sehingga wajar mereka sangat menjaga betul ‘pikukuh’ atau ajaran mereka, entah berupa kepercayaan dan kebudayaan.
Masyarakat suku baduy benar-benar menjaga adat Istiadatnya dan sangat menjaga alam sekitar. Mereka sadar bahwa mereka hidup dari alam dan berdampingan dengan alam, sehingga mereka harus memiliki kearifannya terhadap alam. Banyak ajaran Suku Baduy berupa larangan atau anjuran yang sebenarnya di khususkan untuk menjaga agar alam.
Wilayah suku baduy sendiri terbagi kedalam 2 daerah yaitu suku baduy dalam dan baduy luar. Suku baduy dalam merupakan suku baduy yang benar-benar masih menjaga pikukuhnya sedangkan suku baduy luar merupakan suku baduy yang sudah berbaur dengan masyarakat sekitarnya.
Suku Baduy Dalam
Terletak di kaki pegunungan kendeng desa Kanekes, kecamatan Leuwi Damar, Kabupaten Lebak- Rangkasbitung Banten. Desa ini merupakan jalur terakhir transportasi umum. Setelah tiba di Baduy luar, pertama kali kita wajib lapor ke pimpinan setempat yang di panggil Jaro Pulung, beliau bertugas sebagai penghubung antara suku baduy dengan budaya luar. Dari sini kita masih harus melanjutkan perjalanan agar tiba di suku baduy dalam yaitu antara 3-4 jam.
Wilayah Baduy terbagi ke dalam tiga yaitu : Cikeusik, Cibeo, Cikertawana. Menurut beberapa sumber, nama Baduy berasal dari nama sungai yaitu Cibaduy. Dalam versi yang berbeda, nama Baduy adalah panggilan para peneliti belanda yang mengidentikan mereka dengan Baduy Arab, dimana kehidupannya suka berpindah-pindah. Orang baduy sebetulnya lebih nyaman di panggil urang kanekes (orang kanekes).
Populasi masyarakat baduy sampai hari ini di perkirakan berjumlah 5.000 – 8.000 orang. Berbeda dengan baduy dalam, suku baduy luar atau yang sering di panggil dengan Urang Panamping sudah menerima budaya luar. Suku baduy luar berpakain serba hitam serta rumah mereka bertumpu pada batu.
Suku baduy dalam belum mengenal budaya luar dan terletak di hutan pedalaman. Karena belum mengenal kebudayaan luar, suku baduy dalam masih memiliki budaya yang sangat asli. Suku baduy dalam tidak mengizinkan orang luar tinggal bersama mereka. Bahkan mereka menolak Warga Negara Asing (WNA) untuk masuk. Jadi kalau sobat-sobat punya teman bule, jangan di ajak ke baduy, kasihan mereka nanti harus nunggu di luar. Kemudian suku baduy dalam juga tidak mengizinkan penggunaan kamera.
Suku baduy dalam di kenal sangat taat mempertahankan adat istiadat dan warisan nenek moyangnya. Mereka memakai pakaian yang berwarna putih dengan ikat kepala putih serta membawa golok. Pakaian suku baduy dalam pun tidak berkancing atau kerah. Uniknya, semua yang di pakai suku baduy dalam adalah hasil produksi mereka sendiri. Biasanya para perempuan yang bertugas membuatnya. Suku baduy dalam di larang memakai pakaian modern. Selain itu, setiap kali bepergian, mereka tidak memakai kendaraan bahkan tidak pakai alas kaki dan terdiri dari kelompok kecil berjumlah 3-5 orang. Mereka dilarang menggunakan perangkat tekhnologi, seperti Hp da TV.
Suku baduy dalam memiliki kepercayaan yang di kenal Sunda Wiwitan (sunda: berasal dari suku sunda, Wiwitan : Asli). Kepercayaan ini memuja arwah nenek moyang (animisme) yang pada selanjutnya kepercayaan mereka mendapat pengaruh dari Budha dan Hindu. Dan kalau melihat sejarah, kepercayaan suku baduy dalam saat ini adalah refleksi kepercayaan masyarakat sunda sebelum masuk agama islam.
Sampai saat ini, suku baduy dalam tidak mengenal budaya baca tulis. Yang mereka tahu, ialah aksara hanacaraka (aksara sunda). Anak-anak suku baduy dalam pun tidak bersekolah, kegiatannya hanya sekitar sawah dan kebun. Menurut meraka inilah cara mereka melestarikan adat leluhurnya. Meskipun sejak pemerintahan Soeharto sampai sekarang sudah di adakan upaya untuk membujuk mereka agar mengizinkan pembangunan sekolah, namun mereka selalu menolak. Sehingga banyak cerita atau sejarah mereka hanya ada di ingatan atau cerita lisan saja.
Selain itu,suku baduy dalam juga tidak mengenal perkakas seperti yang kita tahu misal gergaji, palu, paku. Jadi untuk membuat rumah, dibuat dengan menggunakan bahan dan alat-alat tradisional. Di ambil dari hutan dan di kerjakan secara gotong royong. Seperti jembatan yang di buat dengan bahan bambu, di ikat dengan tali dan memakain pondasi dari pohon sekitar. Terlebih lagi untuk barang-barang elektronik : Hp, Tv, Laptop atau Komputer.
Suku baduy menerima dua kepemimpinan, pertama dari pemerintah, biasanya di pimpin oleh Jaro Pamarentah. Dan pemimpin dari lingkungan mereka sendiri yang di panggil Pu’un. Pu’un adalah pemimpin adat tertinggi di baduy dan terbagi di tiga kampung suku baduy dalam. Jabatan pu’un lebih bersifat turun temurun namun kerabat atau anggota keluarga lainpun bisa menjadi Pu’un. Serta tidak di berikan jangka waktu pasti, tergantung kemampuan Pu’un tersebut memangku jabatan.
Sungai menjadi sumber dan urat nadi kehidupan sehari-hari mereka. Dari mulai mandi, mencuci, MCK semuanya di lakukan di sungai. Teman-teman yang berniat berkunjung ke suku baduy dalam, persiapkan makanan seperti beras, mie instant, sarden dan lain-lain. Nanti para ibu suku baduy yang akan membantu memasaknya. Salah satu kebiasaan yang harus di patuhi masyarakat suku baduy dalam ialah jam tidur maksimal jam 21:00.
Biasanya kalau sesuatu terlampau berbeda maka akan menarik perhatian banyak orang. Karena menjadi hal yang unik. Dan di sanalah titik menariknya, terbukti ratusan orang berkunjung dalam satu rombongan ke suku baduy dalam.
Suku Baduy Luar
Baduy luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Baduy Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkanya warga Baduy Dalam
ke Baduy Luar. Pada dasarnya, peraturan yang ada di baduy luar dan
baduy dalam itu hampir sama, tetapi baduy luar lebih mengenal teknologi
dibanding baduy dalam.
Ciri-ciri khas masyarakat:
- Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga Baduy, termasuk warga Baduy Luar.
- Proses Pembangunan Rumah penduduk Baduy Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Baduy Dalam. (BL)
- Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans. (BL)
- Kelompok masyarakat panamping (Baduy Luar), tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi (di luar) wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. (BL)
· Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh
atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari
orang Kanekes. Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes
tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan
sesedikit mungkin:
· Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.
Masyarakat
Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan
merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang
terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten
yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya
pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan
kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten
(Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus
dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi,
palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur
Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak.
Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan
masyarakat luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Selasa, 18 November 2014
Penjelasan PPN PPh Bendahara BOS
Tata Cara Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 22 dan PPN Oleh Bendahara Pemerintah/Pemungut PPh Pasal 22
IlustrasiPada Bulan Juli 2012, Bendahara Dinas ABCD melakukan kegiatan pembelian barang dengan menggunakan dana APBD dan APBN dengan rincian sebagai berikut :
- Tanggal 5 Juli 2012, Pembelian Alat Tulis Kantor kepada CV Pena Anda (NPWP/NPPKP : 01.123.467.8-647.000) senilai Rp 1.650.000,-
- Tanggal 10 Juli 2012, Pembelian Meubel Kantor kepada CV Indah Furniture (NPWP/NPPKP : 02.123.4.567.8-647.000) senilai Rp 4.730.000,-
- Tanggal 20 Juli 2012, Pembelian Printer kepada CV Mega Computer (NPWP/NPPKP : 03.123.456.7-647.000) senilai Rp 700.000,-
- Atas Pembelian tanggal 5 Juli 2012
Belanja barang senilai Rp 1.650.000,-
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) = 100/110 x Rp 1.650.000,- = Rp 1.500.000,-
PPN yang harus dipungut = 10% x Rp 1.500.000,- = Rp 150.000,- - Atas Pembelian tanggal 10 Juli 2012
Belanja barang senilai Rp 4.730.000,-
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) = 100/110 x Rp 4.730.000,- = Rp 4.300.000,-
PPN yang harus dipungut = 10% x Rp 4.300.000,- = Rp 430.000,-
PPh Psl 22 yg harus dipungut = 1,5% x Rp 4.300.000,- = Rp 64.500,-
Catatan :
Apabila rekanan/toko belum mempunyai NPWP, maka PPh Pasal 22 yang harus dipungut adalah 100% lebih tinggi, yaitu menjadi 200% x Rp 1.5% x Rp 4.300.000,- Rp 129.000,- - Atas Pembelian tanggal 20 Juli 2012
Belanja barang di bawah Rp 1.000.000,-, Bendahara tidak wajib memungut PPh Pasal 22 dan atau PPN-nya.
- atas pembelian tanggal 5 Juli 2012
SSP PPN dibuat dengan IDENTITAS REKANAN dan DITANDATANGANI oleh BENDAHARA
- atas pembelian tanggal 10 Juli 2012
SSP PPN dan PPh Pasal 22 dibuat dengan IDENTITAS REKANAN dan DITANDATANGANI oleh BENDAHARA
Pembuatan SPT Masa dimulai dari lampirannya, baru ke Induk SPT-nya.
Langganan:
Postingan (Atom)